Rabu, 16 Januari 2013

Makelar Pernikahan Berkeliaran

Mahalnya biaya pernikahan membuat sebagaian masyarakat keberatan, apalagi bagi mereka yang ekonominya di bawah garis kemiskinan, apakah memang biaya nikah semahal itu atau memang ada oknum yang memanfaatkanya.

Muhammad Zaini kepala KUA Kecamatan Kota ketika ditemui Seputar Ponorogo senin (07/01) mengatakan menunjuk Peraturan Pemerintah nomor 47 tahun 2004 bahwasannya biaya pencatatan Nikah hanya sebesar 30.000 rupiah, dan itu di kenakan ketika calon pengantin datang atau di nikahkan di Kantor Urusan Agama (KUA),”jelasnya

Meski demikian lanjut Zaini, petugas KUA juga tidak boleh meminta biaya tambahan dari masyarakat untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Hanya saja di lapangan, ada masyarakat yang memberikan semacam uang saku kepada petugas KUA, karena keluarga yang punya hajat, meminta petugas KUA untuk memberikan tausiah atau nasihat perkawinan.

Kalau memang realita di masyarakat untuk biaya yang dibebankan atau dimintai sampai ratusan ribu, saya kurang tahu mungkin itu oknum saja, kalau KUA jelas kita ikuti paraturan yang ada,” tuturnya.

Sebenarnya peraturan yang mendasari akan biaya dan pesyaratan sudah kita sosialisasikan ke kelurahan atau desa bahkan juga ke para modin, agar masyarakat tahu dan mengerti bila ingin melangsungkan pernikahan,”tutup Zaini.

Salah satu sumber yang tidak mau di sebutkan namanya mengatakan bahwa dirinya kemarin ketika menikah di bulan november kemarin di mintai dari pada oknum KUA sebesar 500.000 rupiah, ini jelas membuktikan bahwasannya ada oknum-oknum yang memanfaatkan dan bermain di sini, guna mendapatkan uang untuk kepentingan pribadinya saja,

 menanggapi rencana menaikkan biaya pecatatan dan pengurusan administrasi perniakahan di kantor urusan agama (KUA), dari Rp 30.000 menjadi Rp 500.000. Menurut mantan Kepala KUA Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung itu, biaya administrasi pernikahan sebesar Rp 500.000 terbilang sangat mahal.

Dikatakannya, petugas KUA sekarang ini memang sangat dilematis. Di satu sisi mereka hanya dibayar Rp 30.000 untuk mencatat dan mengurus administrasi pernikahan, tanpa ada biaya transportasi dari kantor. Sementara, sebutnya, pelaksanaan pernikahan yang dilangsungkan oleh masyarakat kebanyakan letaknya jauh, sehingga uang sebesar Rp 30.000 untuk kondisi sekarang tidak mencukupi.

REPORTER DINAR PUTRA

Trotoar dan Pot Jalan Protokol Sudah Tua


Seperti halnya manusia yang telah berumur, Trotoar dan pot pohon jalanan protokol Ponorogo pun dapat juga menjadi lansia. Semakin rapuh, renta dan pikun namun juga menyimpan sejarah panjang yang terekam dalam catatan fisiknya.

Semakin sepuh, sepertinya Trotoar serta pot pohon di jalanan kota meraung mengharapkan  peremajaan serta perhatian khusus. Banyak hal yang menyerang usia tuannya, paving trotoar mulai menghitam, jebol serta berlubang. Selain itu pot pohon di sepanjang trotoar juga diserang penyakit tua yang sama. Kebanyakan pot tersebut ambrol.

Menurut beberapa warga sekitar pot ambrol tersebut disebabkan karena tidak adanya peremajaan pohon. Sehingga pot tidak lagi cukup menampung pertumbuhan akar pohon yang semakin beranjang dewasa.

Siti Nur, warga jalan Urip Sumoharjo tersebut mengatakan, selain peremajaan pihak pemerintah juga kurang memperhatikan pertumbuhan pohon di sepanjang jalanan kota. “Kalau dibiarkan tidak ditebang sampai menutupi jalanan, menganggu kabel listrik serta roboh ke atap rumah. Kalau diam-diam kita tebang atau ditebang warga, maka akan ada denda. Beberapa orang sudah lapor tetapi tidak digubris juga,“ tuturnya menjelaskan.

Hal ini dimungkinkan karena cekaknya anggaran pemerintah untuk hal tersebut. Nur (panggilan akrabnya) menambahkan, pemerintah bersih-bersihnya hanya waktu akan Adipura saja. Rekannya mengatakan, beberapa waktu lalu pemerintah hanya mengecat batas jalan saja untuk persiapan Adipura, bahkan beberapa trotoar diperbaiki pemilik rumah masing-masing.

Nur menjelaskan, memang beberapa ruas trotoar dialihfungsikan untuk parkir dan jualan, tetapi trotoar di jalan Urip Sumoharjo adalah satu-satunya jalan untuk pejalan kaki ke pasar Songgolangit, sehingga trotoar itu masih berfungsi penuh. “Ini masih digunakan dengan baik oleh pejalan kaki, namun sudah banyak yang rusak-rusak, sehingga tidak nyaman lagi, pejalan malah suka lewat jalan aspalnya, padahal kan berbahaya,” tuturnya.

Dalam hal ini pihaknya berserta beberapa rekan berharap, ada perhatian khusus. Selain untuk menjaga keselamatan pejalan kaki juga untuk menjaga keindahan serta kenyamanan masyarakat. Sehingga masyarakat sekitar tidak perlu mengeluarkan uang pribadi untuk memperbaiki fasilitas tersebut. *

REPORTER MUHAMMAD BUDI

Stadion Batoro Katong Tidak Layak


  •  Atlet Ponorogo Jadi Korban

Stadion Batoro Katong yang menjadi kebanggaan masyarakat Bumi Reyog sekarang kondisinya memprihatikan dan sangat tidak layak, baik itu dari segi keamanan, kondisi lapangan, tribun penonton, maupun papan skor pertandingan.

Hal ini pun diungkapkan oleh Satya Krisma Wardana salah satu pemain klub Hizbhul Wathan saat ditemui Seputar Ponorogo selepas pertandingan kompetisi internal kelas utama PSSI Cabang Ponorogo di Stadion Bathoro Katong, Jumat (28/12), menurutnya dengan kondisi tanah dan rumput lapangan yang tidak merata seperti ini, jelas mengganggu skill individu pemain.

“Para pemain termasuk saya sangat kesulitan dalam mengoper bola maupun men-drible bola. Akibat kurang memadainya kondisi lapangan, permainan tim juga tidak maksimal, dan dampaknya pun pada hasil pertandingan yang dinilai kurang memuaskan,” keluhnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Hendrik (34) salah satu penonton pada pertandingan ini, ia mengakui stadion saat ini fasilitasnya sangat tidak layak. Hal ini jelas dari segi fasilitas tribun penonton yang kurang terawat dan sangat kotor.

Keluh Hendrik lagi, papan skor pertandingan yang penuh coretan-coretan dengan tulisan yang tidak jelas. Pemerintah melalui Dinas terkait baik itu dari pihak KONI atau Disbudparpora harusnya peduli akan hal ini, tentunya untuk lebih memperhatikan dan memperbaiki lagi fasilitas stadion, agar nantinya olahraga khususnya sepak bola di Ponorogo ini bisa terus eksis,” pintanya.

Sebab masih menurutnya, karena apabila tidak ditunjang dengan kondisi lapangan yang layak, kasihan para pemainnya yang selama ini sudah giat berlatih untuk mendapatkan hasil maksimal dan berjuang untuk meraih prestasi. *

REPORTER ANDRE PRISNA

SOSOK


Soleman
Raup Untung Rp 100 - 150 Ribu Tiap Hari

Bismillah hirohmanirrohim, arrohman nirrohim… tanpa henti surat al-Fatihah terus terlantun dari bibirnya. Hal ini terus dilakukan untuk mendapatkan belas asih para pejalan kaki yang melewatinya. Seratus, duaratus limaratus rupiah diterimannya tanpa meminta lebih. Dimasukkan kantong baju safari yang dikenakan. Dikumpulkan untuk nanti, untuk pulang, untuk masa depan.

Soleman, tulang tuannya rapuh, tangannya erat memegang tongkat kayu tebal. Terduduk sipu dengan lutut berdekatan, tangannya terus menegadah. Entah ada yang lewat atau tidak soleman tidak pernah memikirkan itu. Soleman hanya tahu dari bisikan hati serta suara yang bising dari langkah kaki sekitarnya.

Ya cacat fisik itu bukan cacat permanent, Soleman cacat mata, kedua matanya buta tiba-tiba ketika dia duduk di kelas 3 SD. “Pas niku kulo bal-balan di lapangan kalih teman, lha terus pet peteng, sakit, kulo nyuwun tulung, terus loro langsung mboten sanget ngingeti kulo,” tuturnya bercerita dengan bahasa yang dia mengerti.

Setalah sakit yang membuatnya kehilangan penglihatan, lelaki asli Desa Sawoo Ponorogo itu terus  menggunakan kaca mata hitam. Dengan terbata Soleman mengatakan, kaca mata itu bukan untuk bergaya tetapi untuk melindungi matanya agar tidak banyak debu. Tidak sakit dan itu juga salah satu nasehat mantri setempat.

PP Sawoo-Pasar Legi
Setiap hari Soleman memulai hari pukul 05.00 WIB pagi, usai Subuh lelaki yang telah lupa dengan umurnya itu mengatakan, usai sholat Subuh dia segera menunggu bus angkutan umun. Dengan ingatannya Soleman mengikuti perjalanan bus tersebut hingga berhenti di Waru-Waru alias Tambakbayan.

Menurutnya, semua sopir jam pagi sudah hafal harus menurunkan dirinya di Tambakbayan. “Kulo bayar Rp 5000 saking Sawoo, medun Waru, mangke mbecak Rp 4000, sedoyo pun apal kulo,“ tuturnya. Kemudian pulangnya Soleman akan membayar harga yang sama untuk naik becak ke Terminal lama lantas naik bus ke Sawoo atau kembali pulang.

Depan hall Songgolangit menjadi tempat favorit untuknya mulai pagi hingga jam 14.00 WIB siang. Soleman tidak berani terlalu sore, bersamaan dengan sholat Dhuhur dia langsung pulang, takut jika ketinggalan bus, akunya. PP Sawoo-Pasar Legi dengan total biaya Rp 18.000 tiap hari dijalaninya. Namun terang-terangan pihaknya bercerita blak-blakan, sehari dia mengatakan bisa mendapatkan Rp 100-150 ribu. “Ini untuk biaya hidup saya, kangge mengke nek kulo mati, ben podo dingge ngrumat kulo,“ tuturnya bercerita.

Hidup Sendiri
Inilah kenyataan berikutnya yang terjadi pada pribadi Soleman. Dia bercerita sudah sangat lama istri, satu-satunya orang yang menemaninya hidup meninggalkan dirinya sebantang kara. “Wangsul ke Madiun, kulo dewe, enten dulur-dulur, mbakyu. Wong tuwek mboten kenek digondeli nggeh ben muleh. Golek neh sing enom, ayu, iso nompak motor, ben bonceng kulo gek sing gelem dodolan teng pasar,“ tuturnya dengan tawa canda.

Soleman hidup di tengah-tengah saudara perempuan yang berprofesi sebagai ledek atau sinden. Dia bercerita dua kakaknya Suji dan Tumini sampai saat ini masih aktif sebagai ledek dan tanggapan kebebrapa desa tetangga. “Mugi-mugi sedoyo lancar, mbakyu kulo, bojo kulo, gek kulo donggo ben angsal melih bojo sing enom,“ tuturnya sumringah, melepas tanggungan hidup tua yang kian padat. *

REPORTER MUHAMMAD BUDI

Selasa, 15 Januari 2013

Tidak Ada Beda Mencolok! Sekolah RSBI atau Biasa


Tidak Ada Beda Mencolok! Sekolah RSBI atau Biasa

Tujuh tahun memberlakukan program SBI/RSBI membuat negara harus berbenah. Ketua Mahkamah Konstitusi memutuskan pembubaran program tersebut awal Januari ini. Kendati sudah tercatat sebanyak 1300 sekolah telah mendapatkan gelar itu, namun apa mau dikata, jika sampai saat ini masih belum mencapai harapan.
Dalam prakteknya selama ini, program SBI/RSBI sering dipakai oleh pihak pendidikan sebagai ajang untuk menghimpun dana dari masyarakat. Selain itu dicermati peningkatan pendidikan tak harus dikemas secara eksklusif dalam wadah SBI/RSBI, karena hanya akan menutup kompetensi bagi yang tidak dapat menjangkau, menurut Sulton Praktisi dan Pengamat Pendidikan Ponorogo.
Lebih dalam lagi ia menilai, program itu cenderung membawa banyak tanda tanya terkait anggaran pendidikan. Pada khususnya sekolah-sekolah berplat merah, tinggi biaya yang dikeluarkan oleh wali murid dipertanyakan, mengingat gaji dan lain-lain sudah dicadong  pemerintah. “Ini bukan di Ponorogo saja,” katanya menelisik.
Realitas lain juga diterangkan Sulton , salah satunya para lulusan siswa dari SBI dan RSBI dinilai tidak ada perbedaan yang mencolok secara akademis dengan lulusan SSN atau yang lain, ketika lulusan SBI dan RSBI tersebut berada di lingkup Universitas dan lingkungan sosial. Dan ini adalah sebuah PR besar bagi para pakar pendidikan dan menteri terkait untuk kembali membuat sistem yang nanti tidak mengalami permasalahan.
Selain itu masalah yang harus dipecahkan adalah bagaimana para siswa tak hanya unggul dalam segi akademis saja.  Menurutnya, kecerdasan mungkin harus mutlak jadi prioritas, sebagai sarana untuk dapat mengaplikasikan ilmu yang diraih di sekolah. “Dididik untuk bisa hidup di masyarakat dengan potensinyam,” tambahnya melengkapi.
Memahami pendidikan dalam kacamata Sulton, selama ini budaya salah masih terus dipakai, di mana mereka  hanya mengejar  fasilitas, nilai, ijazah dan lulusan. “Struktural institusional, ini dirubah menjadi fungsional,” tandasnya.
Dampak yang ditakutkan terhadap wali murid, menurutnya tak perlu dicemaskan, para orang tua sudah terlalu sering mengalami perubahan sistem semacam ini, alhasil penyesuaian pun kemungkinan  masih dapat dengan mudah diterima oleh para orang tua. Karena bisa jadi masyarakat lebih  senang dengan dihapuskanya sistem tersebut. “Setidaknya kastanisasi dilingkup sekolah tidak terjadi,” imbuhnya kepada Seputar Ponorogo.
Mencapai sumber daya yang unggul harus dipahami oleh semua pelaku pendidikan, dalam memberikan materi yang benar-benar sampai pada tujuannya. Tidak harus label dan perhatian khusus pemerintah untuk mencetak para generasi penerus yang unggul di kelas internasional, walaupun mereka bukan atau tidak pernah sekolah di sekolah yang berlebel SBI/RSBI. *