Rabu, 16 Januari 2013
Makelar Pernikahan Berkeliaran
Meski demikian lanjut Zaini, petugas KUA juga tidak boleh meminta biaya tambahan dari masyarakat untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Hanya saja di lapangan, ada masyarakat yang memberikan semacam uang saku kepada petugas KUA, karena keluarga yang punya hajat, meminta petugas KUA untuk memberikan tausiah atau nasihat perkawinan.
Trotoar dan Pot Jalan Protokol Sudah Tua
Seperti halnya manusia yang telah berumur, Trotoar dan pot pohon jalanan protokol Ponorogo pun dapat juga menjadi lansia. Semakin rapuh, renta dan pikun namun juga menyimpan sejarah panjang yang terekam dalam catatan fisiknya.
Semakin sepuh, sepertinya Trotoar serta pot pohon di jalanan kota meraung mengharapkan peremajaan serta perhatian khusus. Banyak hal yang menyerang usia tuannya, paving trotoar mulai menghitam, jebol serta berlubang. Selain itu pot pohon di sepanjang trotoar juga diserang penyakit tua yang sama. Kebanyakan pot tersebut ambrol.
Menurut beberapa warga sekitar pot ambrol tersebut disebabkan karena tidak adanya peremajaan pohon. Sehingga pot tidak lagi cukup menampung pertumbuhan akar pohon yang semakin beranjang dewasa.
Siti Nur, warga jalan Urip Sumoharjo tersebut mengatakan, selain peremajaan pihak pemerintah juga kurang memperhatikan pertumbuhan pohon di sepanjang jalanan kota. “Kalau dibiarkan tidak ditebang sampai menutupi jalanan, menganggu kabel listrik serta roboh ke atap rumah. Kalau diam-diam kita tebang atau ditebang warga, maka akan ada denda. Beberapa orang sudah lapor tetapi tidak digubris juga,“ tuturnya menjelaskan.
Hal ini dimungkinkan karena cekaknya anggaran pemerintah untuk hal tersebut. Nur (panggilan akrabnya) menambahkan, pemerintah bersih-bersihnya hanya waktu akan Adipura saja. Rekannya mengatakan, beberapa waktu lalu pemerintah hanya mengecat batas jalan saja untuk persiapan Adipura, bahkan beberapa trotoar diperbaiki pemilik rumah masing-masing.
Nur menjelaskan, memang beberapa ruas trotoar dialihfungsikan untuk parkir dan jualan, tetapi trotoar di jalan Urip Sumoharjo adalah satu-satunya jalan untuk pejalan kaki ke pasar Songgolangit, sehingga trotoar itu masih berfungsi penuh. “Ini masih digunakan dengan baik oleh pejalan kaki, namun sudah banyak yang rusak-rusak, sehingga tidak nyaman lagi, pejalan malah suka lewat jalan aspalnya, padahal kan berbahaya,” tuturnya.
Dalam hal ini pihaknya berserta beberapa rekan berharap, ada perhatian khusus. Selain untuk menjaga keselamatan pejalan kaki juga untuk menjaga keindahan serta kenyamanan masyarakat. Sehingga masyarakat sekitar tidak perlu mengeluarkan uang pribadi untuk memperbaiki fasilitas tersebut. *
REPORTER MUHAMMAD BUDI
Stadion Batoro Katong Tidak Layak
- Atlet Ponorogo Jadi Korban
Stadion Batoro Katong
yang menjadi kebanggaan masyarakat Bumi Reyog sekarang kondisinya memprihatikan
dan sangat tidak layak, baik itu dari segi keamanan, kondisi lapangan, tribun
penonton, maupun papan skor pertandingan.
Hal
ini pun diungkapkan oleh Satya Krisma Wardana
salah satu pemain klub Hizbhul Wathan saat ditemui Seputar Ponorogo selepas pertandingan kompetisi internal kelas
utama PSSI Cabang Ponorogo di Stadion Bathoro Katong, Jumat
(28/12), menurutnya dengan kondisi tanah dan rumput lapangan yang
tidak merata seperti ini, jelas mengganggu skill individu pemain.
“Para
pemain termasuk saya sangat kesulitan dalam mengoper bola maupun men-drible
bola. Akibat kurang memadainya kondisi lapangan, permainan tim juga tidak
maksimal, dan dampaknya pun pada hasil pertandingan yang dinilai kurang
memuaskan,” keluhnya.
Hal
senada juga diungkapkan oleh Hendrik (34)
salah satu penonton pada pertandingan ini, ia mengakui stadion saat ini
fasilitasnya sangat tidak layak. Hal ini jelas dari segi fasilitas tribun
penonton yang kurang terawat dan sangat kotor.
Keluh Hendrik lagi, papan skor
pertandingan yang penuh coretan-coretan dengan tulisan yang tidak jelas. “Pemerintah
melalui Dinas terkait baik itu dari pihak KONI atau Disbudparpora harusnya peduli
akan hal ini, tentunya untuk lebih memperhatikan dan memperbaiki lagi fasilitas
stadion, agar nantinya olahraga khususnya sepak bola di Ponorogo ini bisa terus
eksis,” pintanya.
Sebab masih menurutnya, karena apabila tidak
ditunjang dengan kondisi lapangan yang layak, kasihan para pemainnya yang
selama ini sudah giat berlatih untuk mendapatkan hasil maksimal dan berjuang
untuk meraih prestasi. *
SOSOK
Soleman
Raup
Untung Rp 100 - 150 Ribu Tiap Hari
Bismillah
hirohmanirrohim, arrohman nirrohim… tanpa henti surat al-Fatihah terus
terlantun dari bibirnya. Hal ini terus dilakukan untuk mendapatkan belas asih
para pejalan kaki yang melewatinya. Seratus, duaratus limaratus rupiah
diterimannya tanpa meminta lebih. Dimasukkan kantong baju safari yang
dikenakan. Dikumpulkan untuk nanti, untuk pulang, untuk masa depan.
Soleman, tulang tuannya rapuh, tangannya erat memegang tongkat kayu
tebal. Terduduk sipu dengan lutut berdekatan, tangannya terus menegadah. Entah
ada yang lewat atau tidak soleman tidak pernah memikirkan itu. Soleman hanya
tahu dari bisikan hati serta suara yang bising dari langkah kaki sekitarnya.
Ya cacat fisik itu bukan cacat permanent, Soleman cacat mata, kedua
matanya buta tiba-tiba ketika dia duduk di kelas 3 SD. “Pas niku kulo
bal-balan di lapangan kalih teman, lha terus pet peteng, sakit, kulo nyuwun
tulung, terus loro langsung mboten sanget ngingeti kulo,” tuturnya bercerita
dengan bahasa yang dia mengerti.
Setalah sakit yang membuatnya kehilangan penglihatan, lelaki asli Desa
Sawoo Ponorogo itu terus menggunakan
kaca mata hitam. Dengan terbata Soleman mengatakan, kaca mata itu bukan untuk
bergaya tetapi untuk melindungi matanya agar tidak banyak debu. Tidak sakit dan
itu juga salah satu nasehat mantri setempat.
PP Sawoo-Pasar Legi
Setiap hari Soleman memulai hari pukul 05.00 WIB pagi, usai Subuh
lelaki yang telah lupa dengan umurnya itu mengatakan, usai sholat Subuh dia
segera menunggu bus angkutan umun. Dengan ingatannya Soleman mengikuti
perjalanan bus tersebut hingga berhenti di Waru-Waru alias Tambakbayan.
Menurutnya, semua sopir jam pagi sudah hafal harus menurunkan dirinya
di Tambakbayan. “Kulo bayar Rp 5000 saking Sawoo, medun Waru, mangke mbecak Rp
4000, sedoyo pun apal kulo,“ tuturnya.
Kemudian pulangnya Soleman akan membayar harga yang sama untuk naik becak ke
Terminal lama lantas naik bus ke Sawoo atau kembali pulang.
Depan hall Songgolangit menjadi tempat favorit untuknya mulai pagi
hingga jam 14.00 WIB siang. Soleman tidak berani terlalu sore, bersamaan dengan
sholat Dhuhur dia langsung pulang, takut jika ketinggalan bus, akunya. PP
Sawoo-Pasar Legi dengan total biaya Rp 18.000 tiap hari dijalaninya. Namun
terang-terangan pihaknya bercerita blak-blakan, sehari dia mengatakan bisa
mendapatkan Rp 100-150 ribu. “Ini untuk biaya hidup saya, kangge mengke nek kulo mati, ben podo dingge ngrumat kulo,“ tuturnya
bercerita.
Hidup Sendiri
Inilah kenyataan berikutnya yang terjadi pada pribadi Soleman. Dia
bercerita sudah sangat lama istri, satu-satunya orang yang menemaninya hidup
meninggalkan dirinya sebantang kara. “Wangsul ke Madiun, kulo dewe, enten
dulur-dulur, mbakyu. Wong tuwek mboten kenek digondeli nggeh ben muleh. Golek
neh sing enom, ayu, iso nompak motor, ben bonceng kulo gek sing gelem dodolan
teng pasar,“ tuturnya dengan tawa canda.
Soleman hidup di tengah-tengah saudara perempuan yang berprofesi
sebagai ledek atau sinden. Dia bercerita dua kakaknya Suji dan Tumini sampai
saat ini masih aktif sebagai ledek dan tanggapan kebebrapa desa tetangga. “Mugi-mugi sedoyo lancar, mbakyu kulo, bojo
kulo, gek kulo donggo ben angsal melih bojo sing enom,“ tuturnya sumringah,
melepas tanggungan hidup tua yang kian padat. *
Selasa, 15 Januari 2013
Tidak Ada Beda Mencolok! Sekolah RSBI atau Biasa
Tidak
Ada Beda Mencolok! Sekolah RSBI atau Biasa
Tujuh tahun memberlakukan program SBI/RSBI membuat
negara harus berbenah. Ketua Mahkamah Konstitusi memutuskan pembubaran program
tersebut awal Januari ini. Kendati sudah tercatat sebanyak 1300 sekolah telah
mendapatkan gelar itu, namun apa mau dikata, jika sampai saat ini masih belum
mencapai harapan.
Dalam prakteknya selama ini, program SBI/RSBI sering
dipakai oleh pihak pendidikan sebagai ajang untuk menghimpun dana dari
masyarakat. Selain itu dicermati peningkatan pendidikan tak harus dikemas
secara eksklusif dalam wadah SBI/RSBI, karena hanya akan menutup kompetensi bagi
yang tidak dapat menjangkau, menurut Sulton Praktisi dan Pengamat Pendidikan
Ponorogo.
Lebih dalam lagi ia menilai, program itu cenderung
membawa banyak tanda tanya terkait anggaran pendidikan. Pada khususnya
sekolah-sekolah berplat merah, tinggi biaya yang dikeluarkan oleh wali murid
dipertanyakan, mengingat gaji dan lain-lain sudah dicadong pemerintah. “Ini bukan di Ponorogo saja,”
katanya menelisik.
Realitas lain juga diterangkan Sulton , salah
satunya para lulusan siswa dari SBI dan RSBI dinilai tidak ada perbedaan yang
mencolok secara akademis dengan lulusan SSN atau yang lain, ketika lulusan SBI
dan RSBI tersebut berada di lingkup Universitas dan lingkungan sosial. Dan ini
adalah sebuah PR besar bagi para pakar pendidikan dan menteri terkait untuk
kembali membuat sistem yang nanti tidak mengalami permasalahan.
Selain itu masalah yang harus dipecahkan adalah
bagaimana para siswa tak hanya unggul dalam segi akademis saja. Menurutnya, kecerdasan mungkin harus mutlak
jadi prioritas, sebagai sarana untuk dapat mengaplikasikan ilmu yang diraih di
sekolah. “Dididik untuk bisa hidup di masyarakat dengan potensinyam,” tambahnya
melengkapi.
Memahami pendidikan dalam kacamata Sulton, selama
ini budaya salah masih terus dipakai, di mana mereka hanya mengejar fasilitas, nilai, ijazah dan lulusan. “Struktural
institusional, ini dirubah menjadi fungsional,” tandasnya.
Dampak yang ditakutkan terhadap wali murid,
menurutnya tak perlu dicemaskan, para orang tua sudah terlalu sering mengalami
perubahan sistem semacam ini, alhasil penyesuaian pun kemungkinan masih dapat dengan mudah diterima oleh para
orang tua. Karena bisa jadi masyarakat lebih
senang dengan dihapuskanya sistem tersebut. “Setidaknya kastanisasi
dilingkup sekolah tidak terjadi,” imbuhnya kepada Seputar Ponorogo.
Mencapai sumber daya
yang unggul harus dipahami oleh semua pelaku pendidikan, dalam memberikan
materi yang benar-benar sampai pada tujuannya. Tidak harus label dan perhatian
khusus pemerintah untuk mencetak para generasi penerus yang unggul di kelas
internasional, walaupun mereka bukan atau tidak pernah sekolah di sekolah yang
berlebel SBI/RSBI. *
Langganan:
Postingan (Atom)