Misdi
Doweh
Abdi Budaya Ponorogo
Misdi Doweh, nama yang
cukup aneh. Lelaki senja berperawakan reyog ini mengabdikan seluruh hidupnya
pada kesenian lokal. Reyog sudah menjadi darah dagingnya. Lelaki gagah dengan
senyum santun dan berwibawa ini nampak selalu ramah, senang berkelekar. Keakraban lantas muncul mengiringi
obrolan yang tak ada habisnya. Tangannya terampil merekatkan helai demi helai bulu
merak, serta menyongket dan
menghiasi reyog-reyog mini dengan payet.
Baju loreng kebesaran
pun setia menemani dalam hari-hari panjang kiprahnya didunia seni. Ratusan
kepala macan dari yang kecil hingga yang sangat besar. Ada yang masih dalam
tahap pengeringan setelah pewarnaan, ada yang sudah siap direkatkan kemudia ada
yang sudah siap dipakai untuk hiasan. Seakan tak mengenal lelah, mata tuanya
memandang jeli tiap celah bulu merak yang terpasang berjajar.
Warna-warni bulu emas
dan biru berkilau itu diakui Misdi didatangkan
dari India. Hal ini dikarenakan burung merak sudah sangat langka di Indonesia.
“Sekali pesan ribuan jumlahnya, per mata bulu itu dihargai lima ribu rupiah. Ya, tinggal kalikan saja berapa itu
totalnya. Kalau kulit macan itu ,kan, kita dapat dari Sulewesi. Atau ada juga
yang meminta memakai sablon saja. Atau kalau tidak kita bisa membeli rongsokan
hiasan yang biasannya dipajang menyerupai macan beneran itu, “ ungkapnya rinci.
Pesanan
Misdi bercerita sebagai
seniman reyog sekalipun tidak pernah menolak permintaan. Bahkan dalam sehari
untuk reyog hias yang berukuran 30an cm , ayah 12 anak ini bisa menyelesaikan sesuai pesanan. Kebut.
Itulah katanya. Ada yang pesan 20 unit, jika
lebih banyak menurutnya, dia harus bekerja dengan cepat juga. Untuk pesanan
Ponorogo saja Misdi mengaku sangat kewalahan. “Kalau semua pedagang minta saya
sudah kuwalahan, sangat kuwalahan. Apalagi biasanya mereka juga tidak mau
telat. Tapi karena ini pekerjaan yang saya cintai saya mengerjakannya dengan
ikhlas saja”, tutur pengrajin reyog
tertua di Ponorogo ini.
Reyog yang dibuatnya
harganya sangat variatif mulai dari 75 ribuan, sampai 300 ribuan untuk hias.
Sedangkan untuk reyog besar ada yang
12,5 jutaan rpiah atau bahkan mencapai
hingga 25 juta dan 35 juta. Namun dalam setahun pemesan reyog besar
tidak begitu banyak, hanya berkisar antara 2-4 unit saja. Pemesan dari Amerika
pun datang namun dalam penjualannya Misdi tidak berani. Jadi untuk hal ini dia
memenuhi pesanan melalui Pem Prov Jawa Timur. “ Dulu dari Amerika itu pesan 2,
ya, dari saya harga standar, lalu yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah Jawa
Timur,” ungkapnya bangga.
Misdi selalu mengatakan
pendapatannya sudah cukup untuk hidup. Bahkan menyekolahkan anak hingga lulus
perguruan tinggi. “Saya selalu membelanjakan lagi uang yang saya dapat. Hal ini
agar saya bisa terus memproduksi. Saya tidak mengeluh untuk masalah harga. Ini
sudah pekerjaan saya, tidak semua orang bisa. Lha kalo saya mogak kerja hanya
gara-gara uang bagaimana, nanti saya dimarahi sama Allah, bahkan kalau belum
mati saya akan terus berkarya, ” tandasnya dengan sikap bangga dengan pekerjaan.
Patokan
Harga
Pernah suatu kali Misdi
tidak punya stok hiasan reyog di rumah. Padahal anaknya cepat-cepat akan pulang
dengan suaminya. Maka Misdi mengambil atau membeli barang dari penjual, anehnya
Misdi harus membayar harga paten yang dibandrol. “Ha ha ha padahal saya tahu
harga aslinya. Tapi ya ndak papa saya anggap itu biasa saja, “ tuturnya dengan
tawa sumringah.
Memulai
karier sebagai penari jathil Ponorogo sejak 1948, membuat Misdi berjiwa budaya
tinggi. Sedangkan sebelum 1971 Misdi telah memulai mengerjakan reyog, baik yang
besar maupun yang kecil. Sebagai pengrajin sekaligus budayawan tertua di
Ponorogo,membuat Miadi selalu berucap syukur. “Ya enaknya sudah ada pelanggan,
tidak usah iklan sudah dicari orang, umpetan
yo digoleki. Saya dulu pertama kali
tahun 60an ,berapa itu tidak terima
bayar kalau membantu orang buat reyog, saya sudah sangat senang dengan ucapan
matur suwun,” tandasnya bangga.
Bahkan Misdi merasa
diberikan hidayah yang luar biasa oleh Tuhan, dari 12 anaknya kini Misdi dapat
menikmati keceriaan hari tua dengan 10 cucu. Sedangkan dirinya dapat sepenuhnya
mengabdikan hidup pada hoby, juga pekerjaan sebagai pengrajin. “Kalu lebaran
saya turun dari solat Id, banyak anak, cucu menantu, saya merasa saat itu
sangat bahagia, Bahkan saya merasa mendapatkan emas segini, “ katanya dengan
mengisyaratkan lingkaran besar dengan kedua tangannya.
Apa yang sudah Tuhan
berikan itu harus disyukuri. Apa lagi kelebihan, Misdi mengaku ikhlas melakukan
pekerjaannya. Bahkan Misdi selalu mengagumi keiklasan Tuhan. Anaknya yang
kuliah di Jogja juga mengikuti hobi Misdi, keterampilan seni pahat yang diasah
ketika kuliah kini membuat Misdi bangga. Lalu cucunya yang saat ini Sekolah
Menengah Atas pun senang menari dan berkesenian. “Saya bangga punya anak-anak,
Tuhan ini luar biasa. Semua harus kita syukuri, harus itu,” pungkasnya menutup
kisah. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar