Minggu, 13 Januari 2013

Misdi Doweh Abdi Budaya Ponorogo


Misdi Doweh
Abdi Budaya Ponorogo

Misdi Doweh, nama yang cukup aneh. Lelaki senja berperawakan reyog ini mengabdikan seluruh hidupnya pada kesenian lokal. Reyog sudah menjadi darah dagingnya. Lelaki gagah dengan senyum santun dan berwibawa ini nampak selalu ramah, senang  berkelekar. Keakraban lantas muncul mengiringi obrolan yang tak ada habisnya. Tangannya terampil merekatkan helai demi helai bulu merak,  serta menyongket dan menghiasi  reyog-reyog mini dengan payet.
Baju loreng kebesaran pun setia menemani dalam hari-hari panjang kiprahnya didunia seni. Ratusan kepala macan dari yang kecil hingga yang sangat besar. Ada yang masih dalam tahap pengeringan setelah pewarnaan, ada yang sudah siap direkatkan kemudia ada yang sudah siap dipakai untuk hiasan. Seakan tak mengenal lelah, mata tuanya memandang jeli tiap celah bulu merak yang terpasang berjajar.
Warna-warni bulu emas dan biru berkilau  itu diakui Misdi didatangkan dari India. Hal ini dikarenakan burung merak sudah sangat langka di Indonesia. “Sekali pesan ribuan jumlahnya, per mata bulu itu dihargai lima ribu  rupiah. Ya, tinggal kalikan saja berapa itu totalnya. Kalau kulit macan itu ,kan, kita dapat dari Sulewesi. Atau ada juga yang meminta memakai sablon saja. Atau kalau tidak kita bisa membeli rongsokan hiasan yang biasannya dipajang menyerupai macan beneran itu, “ ungkapnya  rinci.

Pesanan
Misdi bercerita sebagai seniman reyog sekalipun tidak pernah menolak permintaan. Bahkan dalam sehari untuk reyog hias yang berukuran 30an cm , ayah 12 anak ini  bisa menyelesaikan sesuai pesanan. Kebut. Itulah katanya. Ada  yang pesan 20 unit, jika lebih banyak menurutnya, dia harus bekerja dengan cepat juga. Untuk pesanan Ponorogo saja Misdi mengaku sangat kewalahan. “Kalau semua pedagang minta saya sudah kuwalahan, sangat kuwalahan. Apalagi biasanya mereka juga tidak mau telat. Tapi karena ini pekerjaan yang saya cintai saya mengerjakannya dengan ikhlas saja”, tutur  pengrajin reyog tertua di Ponorogo ini.
Reyog yang dibuatnya harganya sangat variatif mulai dari 75 ribuan, sampai 300 ribuan untuk hias. Sedangkan untuk reyog besar ada yang  12,5 jutaan rpiah atau bahkan mencapai  hingga 25 juta dan 35 juta. Namun dalam setahun pemesan reyog besar tidak begitu banyak, hanya berkisar antara 2-4 unit saja. Pemesan dari Amerika pun datang namun dalam penjualannya Misdi tidak berani. Jadi untuk hal ini dia memenuhi pesanan melalui Pem Prov Jawa Timur. “ Dulu dari Amerika itu pesan 2, ya, dari saya harga standar, lalu yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah Jawa Timur,” ungkapnya bangga.
Misdi selalu mengatakan pendapatannya sudah cukup untuk hidup. Bahkan menyekolahkan anak hingga lulus perguruan tinggi. “Saya selalu membelanjakan lagi uang yang saya dapat. Hal ini agar saya bisa terus memproduksi. Saya tidak mengeluh untuk masalah harga. Ini sudah pekerjaan saya, tidak semua orang bisa. Lha kalo saya mogak kerja hanya gara-gara uang bagaimana, nanti saya dimarahi sama Allah, bahkan kalau belum mati saya akan terus berkarya, ” tandasnya dengan sikap bangga dengan pekerjaan.

Patokan Harga
Pernah suatu kali Misdi tidak punya stok hiasan reyog di rumah. Padahal anaknya cepat-cepat akan pulang dengan suaminya. Maka Misdi mengambil atau membeli barang dari penjual, anehnya Misdi harus membayar harga paten yang dibandrol. “Ha ha ha padahal saya tahu harga aslinya. Tapi ya ndak papa saya anggap itu biasa saja, “ tuturnya dengan tawa sumringah.
            Memulai karier sebagai penari jathil Ponorogo sejak 1948, membuat Misdi berjiwa budaya tinggi. Sedangkan sebelum 1971 Misdi telah memulai mengerjakan reyog, baik yang besar maupun yang kecil. Sebagai pengrajin sekaligus budayawan tertua di Ponorogo,membuat Miadi selalu berucap syukur. “Ya enaknya sudah ada pelanggan, tidak usah iklan sudah dicari orang, umpetan yo digoleki.  Saya dulu pertama kali tahun 60an ,berapa itu  tidak terima bayar kalau membantu orang buat reyog, saya sudah sangat senang dengan ucapan matur suwun,” tandasnya bangga.
Bahkan Misdi merasa diberikan hidayah yang luar biasa oleh Tuhan, dari 12 anaknya kini Misdi dapat menikmati keceriaan hari tua dengan 10 cucu. Sedangkan dirinya dapat sepenuhnya mengabdikan hidup pada hoby, juga pekerjaan sebagai pengrajin. “Kalu lebaran saya turun dari solat Id, banyak anak, cucu menantu, saya merasa saat itu sangat bahagia, Bahkan saya merasa mendapatkan emas segini, “ katanya dengan mengisyaratkan lingkaran besar dengan kedua tangannya.
Apa yang sudah Tuhan berikan itu harus disyukuri. Apa lagi kelebihan, Misdi mengaku ikhlas melakukan pekerjaannya. Bahkan Misdi selalu mengagumi keiklasan Tuhan. Anaknya yang kuliah di Jogja juga mengikuti hobi Misdi, keterampilan seni pahat yang diasah ketika kuliah kini membuat Misdi bangga. Lalu cucunya yang saat ini Sekolah Menengah Atas pun senang menari dan berkesenian. “Saya bangga punya anak-anak, Tuhan ini luar biasa. Semua harus kita syukuri, harus itu,” pungkasnya menutup kisah. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar