Rabu, 16 Januari 2013

SOSOK


Soleman
Raup Untung Rp 100 - 150 Ribu Tiap Hari

Bismillah hirohmanirrohim, arrohman nirrohim… tanpa henti surat al-Fatihah terus terlantun dari bibirnya. Hal ini terus dilakukan untuk mendapatkan belas asih para pejalan kaki yang melewatinya. Seratus, duaratus limaratus rupiah diterimannya tanpa meminta lebih. Dimasukkan kantong baju safari yang dikenakan. Dikumpulkan untuk nanti, untuk pulang, untuk masa depan.

Soleman, tulang tuannya rapuh, tangannya erat memegang tongkat kayu tebal. Terduduk sipu dengan lutut berdekatan, tangannya terus menegadah. Entah ada yang lewat atau tidak soleman tidak pernah memikirkan itu. Soleman hanya tahu dari bisikan hati serta suara yang bising dari langkah kaki sekitarnya.

Ya cacat fisik itu bukan cacat permanent, Soleman cacat mata, kedua matanya buta tiba-tiba ketika dia duduk di kelas 3 SD. “Pas niku kulo bal-balan di lapangan kalih teman, lha terus pet peteng, sakit, kulo nyuwun tulung, terus loro langsung mboten sanget ngingeti kulo,” tuturnya bercerita dengan bahasa yang dia mengerti.

Setalah sakit yang membuatnya kehilangan penglihatan, lelaki asli Desa Sawoo Ponorogo itu terus  menggunakan kaca mata hitam. Dengan terbata Soleman mengatakan, kaca mata itu bukan untuk bergaya tetapi untuk melindungi matanya agar tidak banyak debu. Tidak sakit dan itu juga salah satu nasehat mantri setempat.

PP Sawoo-Pasar Legi
Setiap hari Soleman memulai hari pukul 05.00 WIB pagi, usai Subuh lelaki yang telah lupa dengan umurnya itu mengatakan, usai sholat Subuh dia segera menunggu bus angkutan umun. Dengan ingatannya Soleman mengikuti perjalanan bus tersebut hingga berhenti di Waru-Waru alias Tambakbayan.

Menurutnya, semua sopir jam pagi sudah hafal harus menurunkan dirinya di Tambakbayan. “Kulo bayar Rp 5000 saking Sawoo, medun Waru, mangke mbecak Rp 4000, sedoyo pun apal kulo,“ tuturnya. Kemudian pulangnya Soleman akan membayar harga yang sama untuk naik becak ke Terminal lama lantas naik bus ke Sawoo atau kembali pulang.

Depan hall Songgolangit menjadi tempat favorit untuknya mulai pagi hingga jam 14.00 WIB siang. Soleman tidak berani terlalu sore, bersamaan dengan sholat Dhuhur dia langsung pulang, takut jika ketinggalan bus, akunya. PP Sawoo-Pasar Legi dengan total biaya Rp 18.000 tiap hari dijalaninya. Namun terang-terangan pihaknya bercerita blak-blakan, sehari dia mengatakan bisa mendapatkan Rp 100-150 ribu. “Ini untuk biaya hidup saya, kangge mengke nek kulo mati, ben podo dingge ngrumat kulo,“ tuturnya bercerita.

Hidup Sendiri
Inilah kenyataan berikutnya yang terjadi pada pribadi Soleman. Dia bercerita sudah sangat lama istri, satu-satunya orang yang menemaninya hidup meninggalkan dirinya sebantang kara. “Wangsul ke Madiun, kulo dewe, enten dulur-dulur, mbakyu. Wong tuwek mboten kenek digondeli nggeh ben muleh. Golek neh sing enom, ayu, iso nompak motor, ben bonceng kulo gek sing gelem dodolan teng pasar,“ tuturnya dengan tawa canda.

Soleman hidup di tengah-tengah saudara perempuan yang berprofesi sebagai ledek atau sinden. Dia bercerita dua kakaknya Suji dan Tumini sampai saat ini masih aktif sebagai ledek dan tanggapan kebebrapa desa tetangga. “Mugi-mugi sedoyo lancar, mbakyu kulo, bojo kulo, gek kulo donggo ben angsal melih bojo sing enom,“ tuturnya sumringah, melepas tanggungan hidup tua yang kian padat. *

REPORTER MUHAMMAD BUDI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar