Soleman
Raup
Untung Rp 100 - 150 Ribu Tiap Hari
Bismillah
hirohmanirrohim, arrohman nirrohim… tanpa henti surat al-Fatihah terus
terlantun dari bibirnya. Hal ini terus dilakukan untuk mendapatkan belas asih
para pejalan kaki yang melewatinya. Seratus, duaratus limaratus rupiah
diterimannya tanpa meminta lebih. Dimasukkan kantong baju safari yang
dikenakan. Dikumpulkan untuk nanti, untuk pulang, untuk masa depan.
Soleman, tulang tuannya rapuh, tangannya erat memegang tongkat kayu
tebal. Terduduk sipu dengan lutut berdekatan, tangannya terus menegadah. Entah
ada yang lewat atau tidak soleman tidak pernah memikirkan itu. Soleman hanya
tahu dari bisikan hati serta suara yang bising dari langkah kaki sekitarnya.
Ya cacat fisik itu bukan cacat permanent, Soleman cacat mata, kedua
matanya buta tiba-tiba ketika dia duduk di kelas 3 SD. “Pas niku kulo
bal-balan di lapangan kalih teman, lha terus pet peteng, sakit, kulo nyuwun
tulung, terus loro langsung mboten sanget ngingeti kulo,” tuturnya bercerita
dengan bahasa yang dia mengerti.
Setalah sakit yang membuatnya kehilangan penglihatan, lelaki asli Desa
Sawoo Ponorogo itu terus menggunakan
kaca mata hitam. Dengan terbata Soleman mengatakan, kaca mata itu bukan untuk
bergaya tetapi untuk melindungi matanya agar tidak banyak debu. Tidak sakit dan
itu juga salah satu nasehat mantri setempat.
PP Sawoo-Pasar Legi
Setiap hari Soleman memulai hari pukul 05.00 WIB pagi, usai Subuh
lelaki yang telah lupa dengan umurnya itu mengatakan, usai sholat Subuh dia
segera menunggu bus angkutan umun. Dengan ingatannya Soleman mengikuti
perjalanan bus tersebut hingga berhenti di Waru-Waru alias Tambakbayan.
Menurutnya, semua sopir jam pagi sudah hafal harus menurunkan dirinya
di Tambakbayan. “Kulo bayar Rp 5000 saking Sawoo, medun Waru, mangke mbecak Rp
4000, sedoyo pun apal kulo,“ tuturnya.
Kemudian pulangnya Soleman akan membayar harga yang sama untuk naik becak ke
Terminal lama lantas naik bus ke Sawoo atau kembali pulang.
Depan hall Songgolangit menjadi tempat favorit untuknya mulai pagi
hingga jam 14.00 WIB siang. Soleman tidak berani terlalu sore, bersamaan dengan
sholat Dhuhur dia langsung pulang, takut jika ketinggalan bus, akunya. PP
Sawoo-Pasar Legi dengan total biaya Rp 18.000 tiap hari dijalaninya. Namun
terang-terangan pihaknya bercerita blak-blakan, sehari dia mengatakan bisa
mendapatkan Rp 100-150 ribu. “Ini untuk biaya hidup saya, kangge mengke nek kulo mati, ben podo dingge ngrumat kulo,“ tuturnya
bercerita.
Hidup Sendiri
Inilah kenyataan berikutnya yang terjadi pada pribadi Soleman. Dia
bercerita sudah sangat lama istri, satu-satunya orang yang menemaninya hidup
meninggalkan dirinya sebantang kara. “Wangsul ke Madiun, kulo dewe, enten
dulur-dulur, mbakyu. Wong tuwek mboten kenek digondeli nggeh ben muleh. Golek
neh sing enom, ayu, iso nompak motor, ben bonceng kulo gek sing gelem dodolan
teng pasar,“ tuturnya dengan tawa canda.
Soleman hidup di tengah-tengah saudara perempuan yang berprofesi
sebagai ledek atau sinden. Dia bercerita dua kakaknya Suji dan Tumini sampai
saat ini masih aktif sebagai ledek dan tanggapan kebebrapa desa tetangga. “Mugi-mugi sedoyo lancar, mbakyu kulo, bojo
kulo, gek kulo donggo ben angsal melih bojo sing enom,“ tuturnya sumringah,
melepas tanggungan hidup tua yang kian padat. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar