Tidak
Ada Beda Mencolok! Sekolah RSBI atau Biasa
Tujuh tahun memberlakukan program SBI/RSBI membuat
negara harus berbenah. Ketua Mahkamah Konstitusi memutuskan pembubaran program
tersebut awal Januari ini. Kendati sudah tercatat sebanyak 1300 sekolah telah
mendapatkan gelar itu, namun apa mau dikata, jika sampai saat ini masih belum
mencapai harapan.
Dalam prakteknya selama ini, program SBI/RSBI sering
dipakai oleh pihak pendidikan sebagai ajang untuk menghimpun dana dari
masyarakat. Selain itu dicermati peningkatan pendidikan tak harus dikemas
secara eksklusif dalam wadah SBI/RSBI, karena hanya akan menutup kompetensi bagi
yang tidak dapat menjangkau, menurut Sulton Praktisi dan Pengamat Pendidikan
Ponorogo.
Lebih dalam lagi ia menilai, program itu cenderung
membawa banyak tanda tanya terkait anggaran pendidikan. Pada khususnya
sekolah-sekolah berplat merah, tinggi biaya yang dikeluarkan oleh wali murid
dipertanyakan, mengingat gaji dan lain-lain sudah dicadong pemerintah. “Ini bukan di Ponorogo saja,”
katanya menelisik.
Realitas lain juga diterangkan Sulton , salah
satunya para lulusan siswa dari SBI dan RSBI dinilai tidak ada perbedaan yang
mencolok secara akademis dengan lulusan SSN atau yang lain, ketika lulusan SBI
dan RSBI tersebut berada di lingkup Universitas dan lingkungan sosial. Dan ini
adalah sebuah PR besar bagi para pakar pendidikan dan menteri terkait untuk
kembali membuat sistem yang nanti tidak mengalami permasalahan.
Selain itu masalah yang harus dipecahkan adalah
bagaimana para siswa tak hanya unggul dalam segi akademis saja. Menurutnya, kecerdasan mungkin harus mutlak
jadi prioritas, sebagai sarana untuk dapat mengaplikasikan ilmu yang diraih di
sekolah. “Dididik untuk bisa hidup di masyarakat dengan potensinyam,” tambahnya
melengkapi.
Memahami pendidikan dalam kacamata Sulton, selama
ini budaya salah masih terus dipakai, di mana mereka hanya mengejar fasilitas, nilai, ijazah dan lulusan. “Struktural
institusional, ini dirubah menjadi fungsional,” tandasnya.
Dampak yang ditakutkan terhadap wali murid,
menurutnya tak perlu dicemaskan, para orang tua sudah terlalu sering mengalami
perubahan sistem semacam ini, alhasil penyesuaian pun kemungkinan masih dapat dengan mudah diterima oleh para
orang tua. Karena bisa jadi masyarakat lebih
senang dengan dihapuskanya sistem tersebut. “Setidaknya kastanisasi
dilingkup sekolah tidak terjadi,” imbuhnya kepada Seputar Ponorogo.
Mencapai sumber daya
yang unggul harus dipahami oleh semua pelaku pendidikan, dalam memberikan
materi yang benar-benar sampai pada tujuannya. Tidak harus label dan perhatian
khusus pemerintah untuk mencetak para generasi penerus yang unggul di kelas
internasional, walaupun mereka bukan atau tidak pernah sekolah di sekolah yang
berlebel SBI/RSBI. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar